Notification

×

Iklan

Iklan

Kongres Bahasa Indonesia XII, Budaya Indonesia Jangan Sampai Dicuri Negeri Jiran

Minggu, 29 Oktober 2023 | Oktober 29, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-29T08:19:00Z


Jakarta,Ungkapfakta.Online - KONGRES Bahasa Indonesia XII yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 26-28 Oktober 2023 dengan tema “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa” baru saja usai. 

Selama kongres banyak sub-tema menarik yang dibahas dalam hajat lima tahunan itu. Para pakar bahasa dan sastra bertukar-pikiran ikhwal upaya pemajuan bahasa dan sastra Indonesia.


Namun kali ini ada satu sub-tema yang erat terkait dengan kebijakan luar negeri, yaitu internasionalisasi dan diplomasi bahasa Indonesia. Awam paham, domain kebijakan luar negeri utamanya mencakup isu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Diplomasi bahasa jatuh dalam domain diplomasi budaya.

Para pelaku diplomasi mahfum bahwa diplomasi budaya bertujuan memproyeksikan citra bangsa dan negara dengan menggunakan segala macam produk budaya, termasuk bahasa, sebagai instrumen.

Dalam perspektif ini bisa dipahami kemudian jika diplomasi bahasa dilakukan untuk memproyeksikan citra bangsa dan negara dalam pergaulan internasional.

 Namun citra apa yang hendak diproyeksikan? Setidaknya ada tiga aras pemikiran untuk mendeskripsikan citra Indonesia dalam konteks diplomasi bahasa Indonesia. 

Pertama, dari aspek nilai dan semangat Sumpah Pemuda. Sumpah para pemuda untuk berbahasa satu, bukan sekadar keputusan kebudayaan. Itu adalah keputusan politik. 

Untuk menyatukan bangsa, pemuda yang berbahasa mayoritas dengan ikhlas memutuskan bahasa Indonesia—bahasa yang berasal dari satu bagian kecil di Sumatera, tapi luas dipakai dalam komunikasi sosial dan perdagangan antarkepulauan—sebagai bahasa persatuan.

Nation branding secara umum diartikan sebagai reputasi suatu negara dalam aspek fisiknya. Sementara national identity lebih merujuk kepada ciri khas suatu bangsa dalam aspek nonfisiknya, lebih kepada karakter atau budaya dari bangsa itu. 

Dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia telanjur dikenal sebagai bangsa multikultural, toleran, moderat, dan menghargai keberagaman.

Meski terdiri dari berbagai suku, etnik, ras, dan agama, bangsa Indonesia bisa bersatu dalam satu negara karena disatukan oleh satu bahasa: bahasa Indonesia. Di sini bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu, unifying factor. Bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa yang majemuk bisa dinarasikan dalam diplomasi bahasa Indonesia di dunia internasional.

Ketiga, bahasa Indonesia sebagai elemen soft power diplomacy. Citra bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa merupakan elemen soft power diplomacy Indonesia


Menurut Nye, suatu negara mau mendukung dan bersahabat dengan negara lain karena ada rasa kagum terhadap negara itu (Joseph Nye, Soft Power, 2004). 

Di tengah dunia yang sedang dilanda perpecahan internal di sejumlah negara akibat sentimen suku, etnik, ras, dan agama, nilai pemersatu yang diemban oleh bahasa Indonesia dalam menyatukan bangsa yang besar menjadi relevan.

Peran bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa banyak dikagumi negara sahabat. Seturut pandangan Nye di atas, kekaguman negara sahabat akan menjadi landasan kokoh dalam membangun persahabatan yang lebih erat. 

Dengan ketiga kekuatan citra bahasa Indonesia itu, bagaimana kemudian Indonesia harus menjalankan diplomasi bahasa? 

Setidaknya ada dua program andalan yang dimotori oleh Kemendikbud: Dharmasiswa dan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing).

Dharmasiswa memberi bea-siswa kepada mahasiswa asing untuk belajar seni budaya dan bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Melalui program BIPA, Kemendikbud mengirim guru BIPA ke negara sahabat untuk memberikan pelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa dan masyarakat di negara itu.

Bekerja sama dengan KBRI dan KJRI, program Dharmasiswa dan BIPA telah menghasilkan ratusan alumni yang tersebar di puluhan negara. 

Dengan kemahiran berbahasa Indonesia dan kecintaan pada Indonesia, para alumni ini menjadi ujung tombak diplomasi budaya yang dilakukan Kedutaan/Konsulat Indonesia di berbagai negara.

Namun ada kenyataan pahit: para alumni Dharmasiswa dan BIPA ini justru “dicuri” oleh negeri jiran, Malaysia. Negeri jiran ini memanfaatkan para alumni beasiswa Indonesia untuk kepentingan diplomasi budayanya di negara akreditasi.

Tanpa izin dari Kedutaan/Konsulat Jenderal Indonesia di negara itu. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang diundang ke Malaysia untuk ikut lomba pidato dalam bahasa Melayu (padahal para alumni itu hanya bisa bahasa Indonesia, yang tentu beda dengan bahasa Melayu). Ini sungguh tindakan diplomasi culas dan tidak bersahabat. Praktik diplomasi culas seperti ini tidak boleh dibiarkan.


Apa yang harus dilakukan terhadap tindak “pencurian” alumni Dharmasiswa dan BIPA oleh Malaysia? Pertama, Indonesia harus “memelihara apa yang sudah ditanam”. Indonesia memang rajin menanam, tapi malas memelihara. Akibatnya: ketika pohon itu berbuah, negara lain memetik buahnya. Itulah yang terjadi dengan program Dharmasiswa dan BIPA.

Tapi setelah mereka selesai studi dan kembali ke negara asalnya, mereka tidak “dipelihara”, sehingga mereka tak pernah lagi berinteraksi lagi dengan Indonesia. Mereka seolah terlupakan. Pengetahuan mereka tentang bahasa dan seni budaya Indonesia lama-lama hilang.

Ketika mereka tidak “dipelihara” oleh Indonesia setelah “ditanam”, maka buahnya “dipetik” Malaysia. Untuk mengatasi ini, alumni Dharmasiswa dan BIPA harus dilibatkan dengan kegiatan diplomatik KBRI/KJRI secara berkesinambungan dan melembaga. 

Kedua, para diplomat dan Dubes Indonesia di negara akreditasi harus berani tunjukkan sikap tegas terukur kepada Kedubes Malaysia jika mereka kedapatan memanfaatkan alumni Dharmasiswa dan BIPA untuk kepentingan diplomasi budaya mereka.

Sikap tegas terukur berupa teguran secara formal kepada Kedubes Malaysia dimaksudkan untuk menyadarkan mereka bahwa mencuri alumni adalah perbuatan tidak bersahabat, bahkan bisa mengganggu persahabatan itu sendiri. 

Ketiga, para alumni Dharmasiswa dan BIPA yang ada di satu negara harus dihimpun dalam asosiasi persahabatan yang difasilitasi oleh KBRI/KJRI. Melalui asosiasi persahabatan interaksi antara para alumni dan Indonesia tetap terjaga. 

Mereka diajak untuk berkolaborasi dalam kegiatan diplomasi budaya yang diselenggarakan oleh KBRI/KJRI.

Dengan terbinanya hubungan baik dengan para alumni Dharmasiswa dan BIPA secara berkesinambungan diplomasi budaya Indonesia diharapkan dapat mencapai misi utama diplomasi budaya: memperat persahabatan dengan negara akreditasi.


Sumber:  kompas.com
×
Berita Terbaru Update